Sejarah[sunting | sunting sumber]
Penemuan awal[sunting | sunting sumber]
Mikroskop majemuk dengan dua lensa telah ditemukan pada akhir abad ke-16 dan selanjutnya dikembangkan di Belanda, Italia, danInggris. Hingga pertengahan abad ke-17 mikroskop sudah memiliki kemampuan perbesaran citra sampai 30 kali. Ilmuwan InggrisRobert Hooke kemudian merancang mikroskop majemuk yang memiliki sumber cahaya sendiri sehingga lebih mudah digunakan.[10] Ia mengamati irisan-irisan tipis gabus melalui mikroskop dan menjabarkan struktur mikroskopik gabus sebagai "berpori-pori seperti sarang lebah tetapi pori-porinya tidak beraturan" dalam makalah yang diterbitkan pada tahun 1665.[11] Hooke menyebut pori-pori itucells karena mirip dengan sel (bilik kecil) di dalam biara atau penjara.[10][12] Yang sebenarnya dilihat oleh Hooke adalah dinding selkosong yang melingkupi sel-sel mati pada gabus yang berasal dari kulit pohon ek.[13] Ia juga mengamati bahwa di dalam tumbuhan hijau terdapat sel yang berisi cairan.[9]
Pada masa yang sama di Belanda, Antony van Leeuwenhoek, seorang pedagang kain, menciptakan mikroskopnya sendiri yang berlensa satu dan menggunakannya untuk mengamati berbagai hal.[10] Ia berhasil melihat sel darah merah, spermatozoid, khamir bersel tunggal,protozoa, dan bahkan bakteri.[13][14] Pada tahun 1673 ia mulai mengirimkan surat yang memerinci kegiatannya kepada Royal Society, perkumpulan ilmiah Inggris, yang lalu menerbitkannya. Pada salah satu suratnya, Leeuwenhoek menggambarkan sesuatu yang bergerak-gerak di dalam air liur yang diamatinya di bawah mikroskop. Ia menyebutnya diertjen atau dierken (bahasa Belanda: 'hewan kecil', diterjemahkan sebagai animalcule dalam bahasa Inggris oleh Royal Society), yang diyakini sebagai bakteri oleh ilmuwan modern.[10][15]
Pada tahun 1675–1679, ilmuwan Italia Marcello Malpighi menjabarkan unit penyusun tumbuhan yang ia sebut utricle ('kantong kecil'). Menurut pengamatannya, setiap rongga tersebut berisi cairan dan dikelilingi oleh dinding yang kokoh. Nehemiah Grew dari Inggris juga menjabarkan sel tumbuhan dalam tulisannya yang diterbitkan pada tahun 1682, dan ia berhasil mengamati banyak struktur hijau kecil di dalam sel-sel daun tumbuhan, yaitu kloroplas.[10][16]
Teori sel[sunting | sunting sumber]
Beberapa ilmuwan pada abad ke-18 dan awal abad ke-19 telah berspekulasi atau mengamati bahwa tumbuhan dan hewan tersusun atas sel,[17] namun hal tersebut masih diperdebatkan pada saat itu.[16] Pada tahun 1838, ahli botani Jerman Matthias Jakob Schleidenmenyatakan bahwa semua tumbuhan terdiri atas sel dan bahwa semua aspek fungsi tubuh tumbuhan pada dasarnya merupakan manifestasi aktivitas sel.[18] Ia juga menyatakan pentingnya nukleus (yang ditemukan Robert Brown pada tahun 1831) dalam fungsi dan pembentukan sel, namun ia salah mengira bahwa sel terbentuk dari nukleus.[16][19] Pada tahun 1839, Theodor Schwann, yang setelah berdiskusi dengan Schleiden menyadari bahwa ia pernah mengamati nukleus sel hewan sebagaimana Schleiden mengamatinya pada tumbuhan, menyatakan bahwa semua bagian tubuh hewan juga tersusun atas sel. Menurutnya, prinsip universal pembentukan berbagai bagian tubuh semua organisme adalah pembentukan sel.[18]
Yang kemudian memerinci teori sel sebagaimana yang dikenal dalam bentuk modern ialah Rudolf Virchow, seorang ilmuwan Jerman lainnya. Pada mulanya ia sependapat dengan Schleiden mengenai pembentukan sel. Namun, pengamatan mikroskopis atas berbagai proses patologis membuatnya menyimpulkan hal yang sama dengan yang telah disimpulkan oleh Robert Remak dari pengamatannya terhadap sel darah merah dan embrio, yaitu bahwa sel berasal dari sel lain melalui pembelahan sel. Pada tahun 1855, Virchow menerbitkan makalahnya yang memuat motonya yang terkenal, omnis cellula e cellula (semua sel berasal dari sel).[20][21]
Perkembangan biologi sel[sunting | sunting sumber]
Antara tahun 1875 dan 1895, terjadi berbagai penemuan mengenai fenomena seluler dasar, seperti mitosis, meiosis, dan fertilisasi, serta berbagai organel penting, sepertimitokondria, kloroplas, dan badan Golgi.[22] Lahirlah bidang yang mempelajari sel, yang saat itu disebut sitologi.
Perkembangan teknik baru, terutama fraksinasi sel dan mikroskopi elektron, memungkinkan sitologi dan biokimia melahirkan bidang baru yang disebut biologi sel.[23] Pada tahun 1960, perhimpunan ilmiah American Society for Cell Biology didirikan di New York, Amerika Serikat, dan tidak lama setelahnya, jurnal ilmiah Journal of Biochemical and Biophysical Cytology berganti nama menjadi Journal of Cell Biology.[24] Pada akhir dekade 1960-an, biologi sel telah menjadi suatu disiplin ilmu yang mapan, dengan perhimpunan dan publikasi ilmiahnya sendiri serta memiliki misi mengungkapkan mekanisme fungsi organel sel.[25]
Struktur[sunting | sunting sumber]
Semua sel dibatasi oleh suatu membran yang disebut membran plasma, sementara daerah di dalam sel disebut sitoplasma.[26] Setiap sel, pada tahap tertentu dalam hidupnya, mengandung DNA sebagai materi yang dapat diwariskan dan mengarahkan aktivitas sel tersebut.[27] Selain itu, semua sel memiliki struktur yang disebut ribosomyang berfungsi dalam pembuatan protein yang akan digunakan sebagai katalis pada berbagai reaksi kimia dalam sel tersebut.[5]
Setiap organisme tersusun atas salah satu dari dua jenis sel yang secara struktur berbeda: sel prokariotik atau sel eukariotik. Kedua jenis sel ini dibedakan berdasarkan posisiDNA di dalam sel; sebagian besar DNA pada eukariota terselubung membran organel yang disebut nukleus atau inti sel, sedangkan prokariota tidak memiliki nukleus. Hanyabakteri dan arkea yang memiliki sel prokariotik, sementara protista, tumbuhan, jamur, dan hewan memiliki sel eukariotik.[7]
Sel prokariota[sunting | sunting sumber]
Pada sel prokariota (dari bahasa Yunani, pro, 'sebelum' dan karyon, 'biji'), tidak ada membran yang memisahkanDNA dari bagian sel lainnya, dan daerah tempat DNA terkonsentrasi di sitoplasma disebut nukleoid.[7] Kebanyakan prokariota merupakan organisme uniseluler dengan sel berukuran kecil (berdiameter 0,7–2,0 µm dan volumenya sekitar 1 µm3) serta umumnya terdiri dari selubung sel, membran sel, sitoplasma, nukleoid, dan beberapa struktur lain.[28]
Hampir semua sel prokariotik memiliki selubung sel di luar membran selnya. Jika selubung tersebut mengandung suatu lapisan kaku yang terbuat dari karbohidrat atau kompleks karbohidrat-protein, peptidoglikan, lapisan itu disebut sebagai dinding sel. Kebanyakan bakteri memiliki suatu membran luar yang menutupi lapisan peptidoglikan, dan ada pula bakteri yang memiliki selubung sel dari protein. Sementara itu, kebanyakan selubung sel arkea berbahan protein, walaupun ada juga yang berbahan peptidoglikan. Selubung sel prokariota mencegah sel pecah akibat tekanan osmotik pada lingkungan yang memiliki konsentrasi lebih rendah daripada isi sel.[29]
Sejumlah prokariota memiliki struktur lain di luar selubung selnya. Banyak jenis bakteri memiliki lapisan di luar dinding sel yang disebut kapsul yang membantu sel bakteri melekat pada permukaan benda dan sel lain. Kapsul juga dapat membantu sel bakteri menghindar dari sel kekebalan tubuh manusia jenis tertentu. Selain itu, sejumlah bakteri melekat pada permukaan benda dan sel lain dengan benang protein yang disebut pilus (jamak: pili) danfimbria (jamak: fimbriae). Banyak jenis bakteri bergerak menggunakan flagelum (jamak: flagela) yang melekat pada dinding selnya dan berputar seperti motor.[30]
Prokariota umumnya memiliki satu molekul DNA dengan struktur lingkar yang terkonsentrasi pada nukleoid. Selain itu, prokariota sering kali juga memiliki bahan genetik tambahan yang disebut plasmid yang juga berstruktur DNA lingkar. Pada umumnya, plasmid tidak dibutuhkan oleh sel untuk pertumbuhan meskipun sering kali plasmid membawa gen tertentu yang memberikan keuntungan tambahan pada keadaan tertentu, misalnya resistansi terhadap antibiotik.[31]
Prokariota juga memiliki sejumlah protein struktural yang disebut sitoskeleton, yang pada mulanya dianggap hanya ada pada eukariota.[32] Protein skeleton tersebut meregulasi pembelahan sel dan berperan menentukan bentuk sel.[33]
Sel eukariota[sunting | sunting sumber]
Tidak seperti prokariota, seleukariota (bahasa Yunani, eu, 'sebenarnya' dan karyon) memilikinukleus. Diameter sel eukariota biasanya 10 hingga 100 µm, sepuluh kali lebih besar daripadabakteri. Sitoplasma eukariota adalah daerah di antara nukleus dan membran sel. Sitoplasma ini terdiri dari medium semicair yang disebut sitosol, yang di dalamnya terdapat organel-organel dengan bentuk dan fungsi terspesialisasi serta sebagian besar tidak dimiliki prokariota.[7] Kebanyakan organel dibatasi oleh satu lapis membran, namun ada pula yang dibatasi oleh dua membran, misalnya nukleus.
Selain nukleus, sejumlah organel lain dimiliki hampir semua sel eukariota, yaitu (1) mitokondria, tempat sebagian besar metabolisme energi sel terjadi; (2) retikulum endoplasma, suatu jaringan membran tempat sintesis glikoprotein dan lipid; (3) badan Golgi, yang mengarahkan hasil sintesis sel ke tempat tujuannya; serta (4) peroksisom, tempat perombakan asam lemak dan asam amino. Lisosom, yang menguraikan komponen sel yang rusak dan benda asing yang dimasukkan oleh sel, ditemukan pada sel hewan, tetapi tidak pada sel tumbuhan. Kloroplas, tempat terjadinya fotosintesis, hanya ditemukan pada sel-sel tertentu daun tumbuhan dan sejumlah organisme uniseluler. Baik sel tumbuhan maupun sejumlah eukariota uniseluler memiliki satu atau lebih vakuola, yaitu organel tempat menyimpan nutrien dan limbah serta tempat terjadinya sejumlah reaksi penguraian.[34]
Jaringan protein serat sitoskeleton mempertahankan bentuk sel dan mengendalikan pergerakan struktur di dalam sel eukariota.[34] Sentriol, yang hanya ditemukan pada sel hewan di dekat nukleus, juga terbuat dari sitoskeleton.[35]
Dinding sel yang kaku, terbuat dari selulosa dan polimer lain, mengelilingi sel tumbuhan dan membuatnya kuat dan tegar. Fungi juga memiliki dinding sel, namun komposisinya berbeda dari dinding sel bakteri maupun tumbuhan.[34] Di antara dinding sel tumbuhan yang bersebelahan terdapat saluran yang disebut plasmodesmata.[36]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar